Arti Kebahgiaan..
Adakah orang yang tidak ingin bahagia? Hampir dipastikan tidak ada. Kebahagiaan adalah sejenis perasaan yang membuat diri nyaman. Semua orang ingin merasa dirinya nyaman. Kita ingin merasa rileks, aman, kuat, dan berharga. Kita ingin merasa kreatif dan memiliki kontrol, menarik, dan dicintai. Apabila kita dapat menjamin bahwa kita merasakan hal-hal di atas, kita hampir bisa dipastikan merasa bahagia.
Tetapi apakah semua kebahagiaan itu membuat hidup bermakna dan mendukung upaya untuk membuat kehidupan serasa manis bagi semua orang? Tentu saja tidak. Belum cukup kita hanya mendefinisikan kebahagiaan sebagai kondisi apabila keinginan dan kebutuhan terpenuhi atau terlampiaskan. Juga belum pantas jika kita mendefinisikan rasa sedih sebagai suatu kondisi di mana keinginan dan obsesi-obsesi yang ada pada diri kita gagal atau tak tercapai.
Dalam bukunya yang berjudul “An Intelligent Life (2002), Julian Short memberikan pandangannya bagaimana hidup di jaman modern sekarang ini kebahagiaan yang dangkal telah menyebar, dan bagi mereka yang ingin memandang kehidupan secara bermakna sebaiknya mengubah cara pandangnya tentang kebahagiaan, kepribadian, dan relasi dengan orang lain.
Kebahagiaan semu disebarkan oleh rayuan-rayuan iklan yang hanya membuat orang untuk membeli dan merasa bahagia karena memiliki dan mengonsumsi. Kapitalisme didakwa sebagai tatanan yang bisa membuat orang bahagia, tetapi belum tentu hidup dengan penuh makna. Kebahagiaan hanya dipicu oleh nafsu dan keinginan sesaat, dan tidak diakibatkan oleh tindakan yang dipikirkan secara seksama yang bermanfaat bagi orang lain.
Kebahagiaan yang cerdas bukanlah sejenis kebahagiaan yang membuat diri kita senang, apalagi yang bersifat sesaat dan tidak menumbuhkan kepribadian dan karakter sosial yang bermanfaat bagi lingkungan kita. Kita boleh bahagia karena kita melakukan kegiatan yang menyenangkan. Tetapi jika kesenangan kita mengganggu orang lain dan destruktif terhadap lingkungan, itu bukan kebahagiaan yang cerdas dan bermakna.
Kebahagiaan adalah masalah perasaan, dibentuk dan membentuk diri dan lingkungannya. Perasaan muncul bukan semata-mata karena di dalam hati dan pikiran kita muncul rasa, tetapi lebih tepat dikatakan jika itu dibangun karena berinteraksi dengan orang lain. Suatu watak manusia yantg berkarakter dalam hubungannya dengan orang lain seringkali disebut cinta. Jadi dalam hal ini penulis mengusulkan suatu “cinta yang cerdas”.
Kualitas hubungan kita adalah kunci menuju kebahagiaan untuk mendapatkan rasa percaya diri yang sehat, yang pada gilirannya akan membawa pada kebahagiaan. Banyak dari kita yang meyakini bahwa uang adalah sumber kebahagiaan, tetapi harta yang berlimpah tidak akan mampu memberi kita kebahagiaan apabila kita tidak dapat mengikuti hal-hal yang mengatur hubungan yang dekat dan saling menghargai antar sesama.
Kecerdasan akan diperoleh seseorang jika ia dapat menarik realitas di luar dirinya ke dalam pikiran dan perasaan secara mendalam. Hidup itu tidak selalu mudah, tetapi hidup itu sederhana. Jika kita memiliki kekuatan yang mengendalikan emosi dan perilaku, dan apabila kita dapat memahami dan menggunakan kekuatan ini dalam hari-hari kita, hidup terasa akan lebih mudah. Mudah dalam menjelaskan persoalan hidup berarti kemampuan intelektualitas dan kecerdasan kognitif. Peka terhadap sesuatu dan muncul perasaan untuk terlibat dalam rangka mengatasi masalah adalah kecerdasan afektif, sebuah potensi kemanusiaan yang menunjunjung tinggi solidaritas antar manusia.
Memang pertama-tama orang akan berpikir karena kepentingan dirinya sendiri dan dengan ini ia mulai menghadapi kehidupan untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan dirinya sendiri. Hidup yang cerdas adalah tentang bagaimana sebisa mungkin kita merasa senang dengan diri kita sendiri. Yang jelas, untuk melakukannya kita perlu memiliki pengertian yang rasional tentang diri kita sendiri dan tentang orang lain. Kita juga perlu memiliki perangkat untuk dapat mendayagunakan pengetahuan itu untuk kebaikan kita. Rasa suka pada diri sendiri (self-liking) adalah dasar dari kebahagiaan, dan sebaliknya: kepercayaan diri yang rendah mendasari kebanyakan masalah-masalah emosional.
Pengalaman menunjukkan bahwa orang yang paling berbahagia pun selalu merasa tidak seaman sebagaimana harapan mereka, atau percaya diri sebagaimana orang lain kira.
Memang, sedikit rasa tidak percaya diri bukanlah hal yang buruk. Bahkan ia bisa menjadi hal yang baik juga. Sedikit rasa tidak nyaman akan diri sendiri membuat kita mencoban lebih kuat dan akan memotivasi kita untuk menaruh perhatian kepada orang lain, tetapi rasa tidak percaya diri yang terlalu besar jelas akan merusak. Dari sinilah kita harus belajar. Kita harus memegang suatu perspektif yang dapat diikuti untuk memperoleh kebahagiaan bermakna, suatu hal yang kita inginkan dalam hidup.***
--------------------------------------------------------------------------

Adakah orang yang tidak ingin bahagia? Hampir dipastikan tidak ada. Kebahagiaan adalah sejenis perasaan yang membuat diri nyaman. Semua orang ingin merasa dirinya nyaman. Kita ingin merasa rileks, aman, kuat, dan berharga. Kita ingin merasa kreatif dan memiliki kontrol, menarik, dan dicintai. Apabila kita dapat menjamin bahwa kita merasakan hal-hal di atas, kita hampir bisa dipastikan merasa bahagia.
Tetapi apakah semua kebahagiaan itu membuat hidup bermakna dan mendukung upaya untuk membuat kehidupan serasa manis bagi semua orang? Tentu saja tidak. Belum cukup kita hanya mendefinisikan kebahagiaan sebagai kondisi apabila keinginan dan kebutuhan terpenuhi atau terlampiaskan. Juga belum pantas jika kita mendefinisikan rasa sedih sebagai suatu kondisi di mana keinginan dan obsesi-obsesi yang ada pada diri kita gagal atau tak tercapai.
Dalam bukunya yang berjudul “An Intelligent Life (2002), Julian Short memberikan pandangannya bagaimana hidup di jaman modern sekarang ini kebahagiaan yang dangkal telah menyebar, dan bagi mereka yang ingin memandang kehidupan secara bermakna sebaiknya mengubah cara pandangnya tentang kebahagiaan, kepribadian, dan relasi dengan orang lain.
Kebahagiaan semu disebarkan oleh rayuan-rayuan iklan yang hanya membuat orang untuk membeli dan merasa bahagia karena memiliki dan mengonsumsi. Kapitalisme didakwa sebagai tatanan yang bisa membuat orang bahagia, tetapi belum tentu hidup dengan penuh makna. Kebahagiaan hanya dipicu oleh nafsu dan keinginan sesaat, dan tidak diakibatkan oleh tindakan yang dipikirkan secara seksama yang bermanfaat bagi orang lain.
Kebahagiaan yang cerdas bukanlah sejenis kebahagiaan yang membuat diri kita senang, apalagi yang bersifat sesaat dan tidak menumbuhkan kepribadian dan karakter sosial yang bermanfaat bagi lingkungan kita. Kita boleh bahagia karena kita melakukan kegiatan yang menyenangkan. Tetapi jika kesenangan kita mengganggu orang lain dan destruktif terhadap lingkungan, itu bukan kebahagiaan yang cerdas dan bermakna.
Kebahagiaan adalah masalah perasaan, dibentuk dan membentuk diri dan lingkungannya. Perasaan muncul bukan semata-mata karena di dalam hati dan pikiran kita muncul rasa, tetapi lebih tepat dikatakan jika itu dibangun karena berinteraksi dengan orang lain. Suatu watak manusia yantg berkarakter dalam hubungannya dengan orang lain seringkali disebut cinta. Jadi dalam hal ini penulis mengusulkan suatu “cinta yang cerdas”.
Kualitas hubungan kita adalah kunci menuju kebahagiaan untuk mendapatkan rasa percaya diri yang sehat, yang pada gilirannya akan membawa pada kebahagiaan. Banyak dari kita yang meyakini bahwa uang adalah sumber kebahagiaan, tetapi harta yang berlimpah tidak akan mampu memberi kita kebahagiaan apabila kita tidak dapat mengikuti hal-hal yang mengatur hubungan yang dekat dan saling menghargai antar sesama.
Kecerdasan akan diperoleh seseorang jika ia dapat menarik realitas di luar dirinya ke dalam pikiran dan perasaan secara mendalam. Hidup itu tidak selalu mudah, tetapi hidup itu sederhana. Jika kita memiliki kekuatan yang mengendalikan emosi dan perilaku, dan apabila kita dapat memahami dan menggunakan kekuatan ini dalam hari-hari kita, hidup terasa akan lebih mudah. Mudah dalam menjelaskan persoalan hidup berarti kemampuan intelektualitas dan kecerdasan kognitif. Peka terhadap sesuatu dan muncul perasaan untuk terlibat dalam rangka mengatasi masalah adalah kecerdasan afektif, sebuah potensi kemanusiaan yang menunjunjung tinggi solidaritas antar manusia.
Memang pertama-tama orang akan berpikir karena kepentingan dirinya sendiri dan dengan ini ia mulai menghadapi kehidupan untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan dirinya sendiri. Hidup yang cerdas adalah tentang bagaimana sebisa mungkin kita merasa senang dengan diri kita sendiri. Yang jelas, untuk melakukannya kita perlu memiliki pengertian yang rasional tentang diri kita sendiri dan tentang orang lain. Kita juga perlu memiliki perangkat untuk dapat mendayagunakan pengetahuan itu untuk kebaikan kita. Rasa suka pada diri sendiri (self-liking) adalah dasar dari kebahagiaan, dan sebaliknya: kepercayaan diri yang rendah mendasari kebanyakan masalah-masalah emosional.
Pengalaman menunjukkan bahwa orang yang paling berbahagia pun selalu merasa tidak seaman sebagaimana harapan mereka, atau percaya diri sebagaimana orang lain kira.
Memang, sedikit rasa tidak percaya diri bukanlah hal yang buruk. Bahkan ia bisa menjadi hal yang baik juga. Sedikit rasa tidak nyaman akan diri sendiri membuat kita mencoban lebih kuat dan akan memotivasi kita untuk menaruh perhatian kepada orang lain, tetapi rasa tidak percaya diri yang terlalu besar jelas akan merusak. Dari sinilah kita harus belajar. Kita harus memegang suatu perspektif yang dapat diikuti untuk memperoleh kebahagiaan bermakna, suatu hal yang kita inginkan dalam hidup.***
--------------------------------------------------------------------------
